Pagi itu halaman sekolah dipenuhi aroma tanah basah setelah hujan semalam. Bendera merah putih berkibar setengah malas, angin menyentuh kainnya lembut. Suara derap kaki para siswa berpadu dengan lantangnya komando pemimpin upacara, diikuti teriakan para siswa “MERDEKA!.” Di barisan tengah, Arka ikut berteriak. Namun, suara itu terasa asing di telinganya sendiri.“Merdeka dari apa, sih, aku sekarang?,” Batinnya lirih.
Sejak lama, Arka merasa terikat. Di rumah. “Arka, kamu harapan keluarga. Jangan sia-siakan. Belajarlah sungguh-sungguh. Jangan buang waktu dengan hal-hal yang nggak penting,” ujar Ayah suatu malam saat melihat Arka menggambar.
Arka buru-buru menutup buku gambar kesayangannya itu. “Aku belajar, Yah. Tapi aku juga suka gambar.” Ayahnya hanya menggelengkan kepala, matanya penuh harap. Bagi Ayah, cita-cita itu adalah jalan keluar dari kehidupan yang penuh perjuangan, bukan sekadar pilihan.
Namun bagi Arka, menggambar adalah bagian dari dirinya yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Seperti potongan puzzle yang selalu hilang saat ia mencoba menyusunnya. Setiap goresan warna di kertas ataupun kanvas memberikan kebebasan yang tak ia dapatkan di ruang kelas atau di rumah. Tapi kebebasan itu terasa semakin jauh, seiring dengan beratnya beban harapan yang harus ia pikul.
Di antara semua itu, Arka mulai bertanya pada dirinya sendiri, apa yang sebenarnya ia inginkan?. Di rumah, ayahnya selalu menekankan satu hal: Arka harus jadi dokter. Ayah lanjut mendengus. “Suka itu hobi, bukan masa depan.” Kata-kata itu membuat hati Arka menciut. Ia merasa hidupnya bukan miliknya sendiri.
Di sekolah, wajah murung Arka tak lepas dari perhatian sahabatnya, Naya. “Ka, kamu kenapa sih? Kok makin hari makin lesu?,” tanya Naya. Arka menatap kosong ke meja. “Aku merasa nggak bebas, Nay. Semua orang udah nentuin jalan buatku. Aku pengen punya pilihan, tapi kayaknya nggak bisa.”
Naya terdiam, lalu berkata pelan, “Kalau dulu pahlawan lawan penjajah, mungkin sekarang kita lawan rasa terkekang. Kalau kamu nggak berani ngomong, rantai itu nggak akan pernah putus.” Kalimat itu berputar-putar di kepala Arka.Menjelang 17 Agustus, sekolah mengadakan lomba pidato tentang kemerdekaan. Bu Ratna, guru sejarah, tiba-tiba menunjuk Arka.
“Kamu ikut, Arka. Saya tahu kamu punya sesuatu untuk disampaikan.” Arka ingin menolak, tapi entah kenapa ia mengangguk. Malam-malam ia mencoba menulis pidato, tapi naskahnya selalu kaku, seperti mengulang buku teks. Hingga suatu malam, setelah bertengkar dengan Ayah yang kembali menyinggung soal kedokteran, ia duduk di depan kanvas. Tangannya bergetar, namun kuasnya bergerak.
Arka melukis seorang anak dengan rantai di kakinya, namun menatap langit penuh bintang. Melihat lukisan itu, Arka berbisik, “Merdeka itu bebas dari rantai yang bikin aku nggak bisa jadi diriku sendiri.” Dari sana, kata-kata pidatonya lahir. Hari lomba tiba. Aula sekolah dipenuhi siswa.
Satu per satu peserta maju dengan pidato penuh semangat nasionalisme. Semua terdengar mirip. Ketika namanya dipanggil, Arka maju. Tangannya dingin, jantung berdebar. Ia menatap bendera di sudut ruangan.
“Teman-teman,” suaranya pelan tapi jelas, “setiap Senin kita teriak merdeka. Tapi… apakah kita benar-benar merdeka?.” Aula langsung hening. “Dulu pahlawan melawan penjajah. Sekarang kita melawan apa?, Kita melawan rasa takut: takut gagal, takut mengecewakan orang tua, takut berbeda. Rantai itu tidak terlihat, tapi berat menahan kita.”
Arka menarik napas. “Merdeka, buat saya, adalah berani jujur pada diri sendiri. Belajar bukan karena nilai, tapi karena ingin tahu. Bermimpi bukan karena dipaksa, tapi karena itu membuat kita hidup. Selama kita bisa berkata, ini aku, dan aku berhak menentukan jalanku, itulah merdeka.”
Tepuk tangan membahana. Bu Ratna tersenyum bangga, sementara mata Naya berkaca-kaca. Arka hanya meraih juara harapan. Tapi ia pulang dengan hati lega. Ia menceritakan pidatonya pada ibu, yang mendengarkan sambil menahan senyum haru.
Namun ketika ayah tahu, wajahnya mengeras. “Kamu ngomong begitu di depan orang banyak? Kamu pikir hidup bisa dijalani dengan mimpi? Kamu tahu nggak betapa sulitnya dunia nyata?.” Arka menggenggam tangannya kuat-kuat. “Aku tahu, Yah, tapi aku nggak mau terus hidup dengan jalan yang bukan milikku. Aku pengen punya pilihan.”
Ayah menatap tajam. “Pilihanmu bisa menghancurkan masa depanmu,” Arka menatap balik, suaranya bergetar tapi mantap. “Kalau aku hidup bukan sebagai diriku sendiri, itu bukan masa depan. Itu penjara.” Keheningan menekan ruang tamu. Ayah terdiam lama.
Malam itu Arka menangis di kamarnya. Bukan karena takut dimarahi, tapi karena untuk pertama kalinya ia berani jujur. Beberapa hari kemudian, sekolah mengadakan pameran karya siswa dalam rangka Hari Kemerdekaan. Tanpa sepengetahuan Arka, Bu Ratna memilih salah satu lukisannya: anak berseragam dengan rantai di kaki, yang menatap langit penuh bintang.
Arka gugup saat karyanya dipajang. Ia berdiri di sudut aula, takut ditertawakan. Tapi reaksi yang datang mengejutkannya. Banyak siswa tertegun, bahkan ada beberapa orang yang sedikit menitikkan air matanya setelah melihat lukisan Arka. Juga tidak sedikit guru yang memuji dalam hati. “Lukisan ini dalam sekali,” komentar salah satu guru.
Arka hanya menunduk, wajahnya memerah. Di tengah keramaian, ia tak sadar ada sosok berdiri jauh di belakang: ayahnya. Diam-diam, ayah datang setelah mendapat kabar dari ibu. Ayah menatap lukisan itu lama. Mata tua yang keras itu perlahan berkaca-kaca. Ia melihat putranya di ujung sana.
Anak tunggalnya yang selama ini ia tekan dengan ambisi, ternyata punya dunia sendiri yang sangat indah. Sepulang pameran, Arka membuka pintu rumah dengan cemas. Ia menduga ayah akan marah karena tahu soal lukisan. Tapi yang ia temukan justru ayah duduk di ruang tamu, memegang brosur pameran. Ayah menatapnya lama. “Arka… itu lukisanmu, kan?.”
Arka menelan ludah. “Iya, Yah.” Hening. Lalu ayah menarik napas berat. “Kamu tahu… waktu lihat lukisan itu, Ayah merasa seperti… ditampar. Selama ini Ayah pikir Ayah membimbingmu, ternyata Ayah malah membelenggu.”
Arka terdiam, matanya panas. Ayah melanjutkan, suaranya bergetar, “Ayah cuma takut kamu gagal, tapi mungkin Ayah juga harus belajar, merdeka bukan hanya untuk bangsa. Tapi juga untuk anak yang ingin menentukan jalannya.” Air mata menetes di pipi Arka. Untuk pertama kalinya, Ayah merengkuhnya dalam pelukan.
Setelah kejadian mengharukan yang terjadi hubungan Arka dan Ayahnya sudah sangat membaik. Tepat pada malam 17 Agustus, bintang-bintang berserakan di langit. Arka duduk di halaman rumah bersama Ayah dan Ibu, menatap bendera berkibar gagah. Dalam hati, Arka berbisik: “Terima kasih para pahlawan. Kalian sudah memberi tanah merdeka, sekarang giliran kami, pelajar, untuk menemukan arti merdeka dalam diri. Dan aku sudah menemukannya di jalan yang kutentukan sendiri,” dan malam itu, rantai di hatinya benar-benar patah.