Sinar matahari pagi perlahan menyusup masuk ke kamarku. Aku sedang terlelap di dalam selimut motif polkadot kesukaanku. Namaku Adi Sanjaya, seorang pemuda yang tinggal di Desa Sukajadi, Bumi Ratu Nuban, Lampung Tengah. Aku melirik ke arah jam dinding, kemudian memekik kecil setelah mengetahui jam sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB. Aku bergegas untuk mandi dan berangkat sekolah tanpa sarapan. Kugowes sepeda dengan kecepatan maksimal. Sialnya gerbang sekolah sudah ditutup. Aku berdecak kesal, karena telat bangun dan akhirnya terlambat datang ke sekolah. Mau tidak mau aku harus menunggu. Kemudian, jam menunjukkan pukul 08.00 WIB tanda dibukakannya pintu gerbang, tetapi aku bersama murid lain dihukum berlari keliling lapangan sekolah hingga jam pelajaran pertama selesai. 

Saat hendak berlalu ke kelas, sudut matatku menangkap sosok laki-laki paruh baya di sudut lapangan itu. Namanya Pak Budiansyah, tetapi sering dipanggil Cak Aan. Aku tak tahu siapa orang pertama pencetus panggilan tersebut pada Cak Aan. Dia memang sangat populer di SMP Rajut Asa karena dekat dan ramah dengan murid-murid, khususnya kepada murid laki-laki. Seiring berjalannya waktu, aku makin akrab dengan pramukantor² tersebut. Pernah suatu saat dia bercerita kepadaku tentang pengalamannya sewaktu seumur kami. Kemudian aku mendekatinya, "Dulu aku juga sepertimu, sering terlambat, tetapi itu tidak mematahkan semangatku untuk tetap pergi sekolah dan meraih ilmu sebanyak mungkin. Aku juga dulu bercita-cita untuk pergi ke pusat kota agar dapat merasakan pendidikan di sana, kau tau kan masyarakat desa tidak beruntung seperti masyarakat kota?" ucap Cak Aan. 

“Pendidikan, satu kata yang seharusnya dapat dirasakan oleh setiap anak. Namun kenyataannya, tidak semua anak dapat merasakan pendidikan yang sama karena perbedaan wilayah, desa dan kota menjadi penghalang perbedaan pendidikan di sini.” lanjut Cak Aan.

Aku termenung memikirkan kata-kata yang telah diucapkan oleh Cak Aan. Aku berpikir, ada benarnya juga. Banyak warga desa menyepelekan bahkan sering berkata jika anak desa tidak akan mungkin dapat belajar di kota.

Langit mulai melukiskan jingga. Burung-burung walet pulang ke rumah. Tanda jika waktu pulang sekolah akan segera tiba. Aku mulai menggowes sepeda dan bergumam, “Apa aku pergi ke kota untuk mencari ilmu yang lebih luas di sana, ya?”. Sesampainya di rumah, aku membicarakan hal ini dengan Ibu. 

“Bu, boleh tidak Adi melanjutkan pendidikan di kota? Adi berniat mencari ilmu yang lebih luas di sana.” ucapku.

Ibu tersenyum, "Jika itu sudah niatmu Ibu tidak bisa melarangnya, Nak. Ibu hanya ingin Adi bisa berprestasi di sana, Ibu akan mendukungmu, Nak!" Ucap Ibunda Adi. 

Aku termasuk keluarga yang tidak seberuntung teman-temanku. Aku sudah ditinggal oleh ayah dua tahun lalu karena penyakit keras. Ibu menggantikan posisi Ayah sebagai tulang punggung keluarga. Semua tanggung jawab keluarga ada di pundak Ibu. Aku bersyukur mempunyai Ibu yang masih gigih mendukung cita-cita anaknya walaupun dalam keterbatasan. Mendengar izin dari Ibu, aku merasa senang bukan main. Aku berterima kasih kepada Ibu karena telah mengizinkanku untuk pergi memperluas ilmu ke kota. 

Ayam bersenandung ria, ketika bulan menyongsong³ pergi. Tak biasanya aku bangun sepagi ini, kemudian bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. 

"Adi berangkat dulu ya, Bu!" ucapku kepada Ibu.

"Hati-hati, Nak. Semangat untuk mengejar cita-cita mu!” pesan Ibu.

Aku kemudian menggowes sepeda dengan perasaan menggebu-gebu, tak sabar untuk menemui seseorang untuk membahas ini. 

"Pagi, Cak Aan!" sapaku kepada pramukantor² itu.

"Pagi juga, Nak Adi!" balas lelaki itu dengan menunggingkan sebuah senyuman.

Sesampainya di sekolah, aku bergegas ke ruang BK. Bukan karena memiliki masalah, tetapi untuk menyampaikan keinginanku untuk sekolah di kota. 

“Iya, Nak. Ada perlu apa datang kemari?” ucap seorang lelaki ketika aku mulai memasuki ruangan tersebut.

“Jadi gini, Pak. Adi mau tanya tentang sekolah di SMA Pejuang Asa yang berada di kota, Pak. Adi ingin sekali bersekolah di sana, tetapi bagaimana cara agar bisa kesana ya, Pak?” tanyaku sembari duduk di kursi.

“Oh, untuk masalah ini ya, Nak. Adi dapat mempersiapkan nilai rapot Adi dan sertifikat yang Adi miliki. Apakah Adi memiliki nilai yang mumpuni dan memiliki sertifikat perlombaan?” jelas Pak Abdul, guru BK di SMP Negeri Rajut Asa.

“Untuk nilai rapot Adi Insyaallah aman, Pak. Kebetulan dari kelas 7 Adi mendapatkan peringkat 1 di kelas. Dan Adi juga sudah mempersiapkan sertifikat untuk mendaftar ke SMA tujuan Adi, Pak.” jawabku.

“Wah, persiapannya sudah bagus. Bapak yakin Adi bisa diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut. Nanti jika ada informasi pendaftaran, Bapak informasikan ke Adi ya!” ujar Pak Abdul.

Waktu berlalu dengan begitu cepat. Saatnya aku untuk berpisah dengan teman-teman SMP-ku. Dengan beragam prestasi yang kudapatkan dari dukungan sekolah sebagai modal untuk menggali ilmu di kota impianku, yaitu Metro. 

Aku kembali menemui Pak Abdul dan menanyakan terkait pendaftaran ke SMA Pejuang Asa. 

“Permisi, Pak. Adi ingin menanyakan tentang pendaftaran siswa baru di SMA Pejuang Asa, mohon maaf pak jika merepotkan karena Adi tidak memiliki alat teknologi untuk mendaftar” ucapku.

“Oh iya, Nak. Bapak sudah mendaftarkan Adi dan mohon maaf Nak, Bapak tidak memberikan kabar kepada Adi terlebih dahulu, karena pendaftaran hanya dibuka selama dua hari. Alhamdulillah proses pendaftaran sudah berhasil. Adi hanya perlu menunggu pengumuman dan menyiapkan berkas pendukung sebagai bukti ya, Nak!” jawab Pak Abdul.

“Wah, terima kasih ya, Pak. Sudah membantu saya mendaftarkan ke SMA yang saya inginkan. Semoga saya bisa masuk ke SMA Pejuang Asa ya, Pak!” ucapku dengan sedikit bersemangat.

“Amin, Bapak selalu mendoakan yang terbaik buat Adi!” ujar Pak Abdul dengan senyuman.

Seminggu berlalu

Mentari menyingsing⁴ di ufuk timur. Petani bergegas ke ladang. Knalpot motor tua yang membisingkan. Aku menggeliat, kemudian tersadar setelah mendengar tawa lelaki yang tak asing ditelingaku. Aku bergegas ke arah suara itu. Ternyata benar dugaanku, Pak Abdul sedang berbincang ria bersama Ibu.

“Wah, Adi sudah bangun. Sini nak Ibu dan Pak Abdul ada berita yang pasti buat kamu bahagia!” kata Ibuku sembari tersenyum.

Aku berjalan dan kemudian duduk di sebelah Ibuku. Kemudian aku bertanya, “Ada berita apa, Bu?” tanya ku dengan keadaan setengah sadar.

“Kemarin, Bapak melihat informasi tentang penerimaan siswa baru. Dan selamat ya, Nak. Kamu sudah diterima di SMA Pejuang Asa!” timpal Pak Abdul dengan bersemangat. 

“Wah, alhamdulillah, Pak. Terima kasih banyak ya pak sudah membantu Adi selama ini!” jawabku dengan tangisan haru.

“Persiapkan berkas yang Bapak suruh waktu itu. Dan esok kamu harus mengantarkan berkasnya kesana untuk daftar ulang” tambah Pak Abdul.

Siangnya, aku bersiap untuk pergi ke rumah sopir yang selalu pergi ke kota. Saat dijalan, aku berpapasan dengan Pak Rohim, Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukajadi. 

“Siang, Nak Adi!” sapa Pak Rohim.

“Siang juga, Pak Rohim!” jawabku.

“Bapak mau berbicara sebentar apa bisa, Nak?” ucap beliau.

“Bisa, Pak. Ada apa ya, Pak?” tanyaku.

“Kemarin Bapak mendapat kabar kalau kamu mendapat nilai yang sangat baik, dan Nak Adi juga memperoleh berbagai prestasi. Bapak ingin Nak Adi melanjutkan di SMA 1 Sukajadi, perihal biaya Nak Adi tidak perlu memikirkannya, dan apakah Nak Adi berminat?” tawarnya.

“Oh iya Bapak terima kasih untuk tawarannya. Nanti saya obrolkan lagi dengan Ibu lagi ya, Pak!” seru ku.

“Iya, Nak. Pertimbangkan lagi ya, Nak!” ujar Pak Rohim.

“Baik, Pak. Saya duluan ya, Pak!” ucapku sembari berlalu dari Pak Rohim.

Aku kembali berjalan, merenungkan tawaran Pak Rohim yang sudah menjanjikan. Tapi, di sisi lain aku ingin sekali sekolah di kota. Aku kemudian putar balik, sekarang tujuanku adalah Ibu. Aku ingin mendiskusikan ini dengannnya.

“Ibu, aku tadi aku bertemu dengan Pak Rohim, Kepala SMA 1 Sukajadi. Pak Rohim nawarin untuk sekolah disana dengan biaya gratis. Bagaimana ya, Bu? Adi bingung.” ucapku.

“Adi masih mau pergi ke kota kan? Perjuangin itu ya, Nak. Ibu ingin kamu bisa bersekolah disana, Nak.” jawab Ibu menyakinkan.

“Baik, Bu. Adi mau pergi ke tempat Pak Rudi dulu ya, Bu. Tadi ketemu Pak Rohim di jalan, jadinya Adi putar balik, hehe.” ujarku dengan cengengesan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB, aku bergegas ketempat Pak Rudi, sopir di desaku yang selalu pergi kekota. 

“Sore, Pak Rudi!” sapaku setelah sampai dirumahnya.

“Sore juga, Nak Adi! Ada perlu apa ya, Nak sore sore datang kemari?” sahutnya dari dalam rumah.

“Apakah besok Pak Rudi pergi ke kota? Adi ingin ikut pergi ke kota juga!” jawabku.

“Boleh saja, Nak. Kalau boleh tau, Nak Adi mau ada apa ya pergi ke kota?” tanyanya lagi.

“Aku ingin daftar ulang di SMA Pejuang Asa, Pak. Alhamdulillah Adi diterima di sekolah itu, Pak!” jelasku kepada Pak Rudi.

“Wah, alhamdulillah. Bapak turut bersuka cita ya, Nak! Semoga kamu kedepannya bisa sukses! Dan besok Bapak pergi kekota jam 09.00 WIB, Nak Adi tunggu di depan rumah saja ya, besok Bapak susul.” ucapnya dengan bersemangat.

“Siap, Pak. Terima kasih ya sudah mau memberikan tumpangan buat Adi. Kalau begitu Adi pulang dulu ya, Pak!” kataku sembari berpamitan kepada Pak Rohim.

“Iya, Nak. Hati-hati ya!” jawabnya.

Langit berpendar. Matahari kebarat. Aku mulai mempersiapkan barang-barang yang esok akan kubawa.

"Bu, besok Adi akan berangkat ke kota. Doakan Adi agar selamat ya, Bu!" ucap Adi menghampiri Ibunya. 

"Iya, Nak. Doa Ibu selalu bersamamu!" ucap Ibu dengan suara serak.

“Ibu kenapa, Bu? Apa Ibu sakit?” tanyaku cemas.

“Sedari sore tadi, kepala Ibu pusing, Nak. Tapi Adi tidak perlu khawatir, Ibu baik-baik saja” jawab Ibu.

“Ibu terlihat pucat sekali, apa besok Adi tidak perlu ke kota, dan menjaga Ibu saja dirumah?” tanyaku lagi.

“Sudah, Nak. Ibu tidak apa-apa, Adi besok tetap pergi ke kota ya, Ibu sangat ingin anak Ibu sekolah di sana” jelas Ibu meyakinkanku.

“Baiklah, Bu. Jangan lupa minum obat ya, Bu. Selamat malam, Bu. Adi sayang Ibu!” ucapku sembari memeluk Ibu.

“Iya, Nak. Selamat malam juga.”

Langit membiru. Embun bertengger di padi-padi yang menguning. Suara kicauan burung saling beradu. Tangisan haru wanita terdengar. 

“Tubuh Ibu semakin panas, Adi khawatir, Bu!” ucapku dengan menitikkan air mata.

“Sudah, Nak. Ibu bisa jaga diri disini, cepatlah bersiap. Sebentar lagi Pak Rudi datang!” ucapnya sambil terisak.

Aku mulai bersiap untuk pergi, sebenarnya tak sanggup untuk meninggalkan Ibu yang sedang sakit dan aku ingin merawatnya, tetapi demi mimpi dan Ibu juga terus memaksaku untuk tetap pergi ke kota. Aku tetap melangkahkan kaki dengan mantap. Aku menunggu mobil pickup, yang selalu pergi ke kota. Lima belas menit kemudian, akhirnya mobil itu datang.

“Adi, berangkat dulu ya, Bu!” kataku sembari menaiki mobil pickup putih yang bermuatan kopi itu.

“Hati-hati, Nak. Doa Ibu menyertaimu!” kata Ibu sedikit berteriak.

Aku mulai berjalan menuju kota. Jalanan yang berlubang membuat pusing sang empunya, tak mematahkan semangatku untuk pergi ke kota. Aku tetap bertahan agar dapat sampai ke kota, hingga kemudian mulai terlelap. 

Tak terasa dua jam perjalanan berlalu. Aku sudah mulai memasuki kota. Aku terkagum dengan keindahan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Mobil itu kemudian berhenti, dan menurunkanku. 

"Terima kasih banyak atas tumpangannya, Pak!" seruku sembari tersenyum lebar. 

"Baik, saya terus ya, Nak!" kata Pak Rudi sembari menjalankan mobilnya. 

Sebenarnya aku sudah tahu, di mana aku saat ini. Tetapi, aku masih diam membisu, melihat keindahan kota yang aku damba-dambakan dari dulu.  "Indahnya" gumamku, sembari berjalan menyusuri Taman Merdeka. 

Aku baru ingat, tidak bertanya pada Pak Rudi dimana letak sekolah yang kucari. Kemudian aku berjalan ke arah sebuah gedung yang bertuliskan Bank Mentari, dan aku memberanikan diri untuk bertanya kepada pria berseragam satpam yang sedang duduk termenung di posnya. 

"Permisi, Pak. Mau tanya, Bapak tahu alamat ini?" ujarku sembari memberikan secarik kertas lusuh kepada pria gagah yang berseragam itu.

"Oh ini mah dekat dengan sini, Dek." jawabnya sembari menjelaskan letak alamat yang aku tanyakan.

"Baiklah, Pak. Terima kasih banyak penjelasannya!" ucapku sembari melemparkan senyum kepada pria itu. Kemudian, aku mulai berlalu pergi menuju tempat yang dijelaskan oleh pria tadi. 

Matahari tepat berada diatasku, dan dahaga mulai melanda. Tetapi aku tetap semangat untuk pergi ke suatu sekolah yang aku cita-citakan. "Demi cita-citaku, aku tetap langkahkan kaki ini." itulah yang aku ucapkan sembari berjalan. 

Dua puluh menit berlalu, akhirnya aku sampai di sekolah yang kudambakan, SMA Pejuang Asa. Aku terpesona, tak henti hentinya ku bergumam "indah sekali". Setelah itu aku tersadar, apa yang akan ku lakukan setelah sampai disini. Aku bergegas, kemudian bertanya kepada pria paruh baya yang menenempati pos satpam itu.

"Permisi, Pak. Maaf mau tanya ruang pendaftaran dimana ya, Pak?" tanyaku dengan nada penuh semangat.

"Oh disana, Dek" Sambil menunjukkan lokasi pendaftaran. Kemudian aku bergegas, tak sabar untuk mendaftar. 

"Siang, Bu. Disini saya ingin daftar ulang, Bu" Kata Adi dengan sebuah senyuman.

"Siang juga, Nak. Baik silahkan duduk, sudah membawa semua berkasnya, Nak?" tanya Ibu itu, dengan senyuman khasnya.

"Sudah, Bu" ucapku, sembari menyerahkan berkas berkas yang sudah aku persiapkan kemarin. 

Setelah beberapa saat, Ibu paruh baya itu memecah kesenyapan. 

“Baik berkas nya sudah lengkap, Nak. Selamat, kamu sudah menjadi siswa disini, Nak. semoga kamu bisa tetap berprestasi. Terus semangat, ya!" jelas wanita itu dengan senyuman lebar.

“Alhamdulillah. Baik, terima kasih, Bu!” ucapku dengan menyunggingkan senyuman dan berlalu pergi. Aku merasa sangat bahagia telah meraih cita-citaku, masuk di SMA Pejuang Asa. Aku tak menyangka, warga desa sepertiku bisa masuk kesekolah favorit di kota.

Tuntutlah ilmu bahkan sampai ke Negeri Cina, begitu ucap salah satu pepatah. Aku sangat bangga, aku dapat membuktikan pepatah itu. Seorang warga desa yang tidak memiliki ayah dan hidup berkecukupan, dapat membuktikan pepatah itu.

Aku menangis haru, dengan isak-isak tertahan. “Bu, anakmu jadi siswa di kota!” ucapku sembari berlalu dari sekolah itu.

__________________________

Ngalau Hanipi¹ = meraih mimpi.

Pramukantor² = orang yang biasa menyapu dan mengepel di kantor.

Menyongsong³ = berjalan/perlahan.

Menyingsing⁴ = mulai terang; terbit.

Berpendar⁵ = bercahaya; mulai hilang.