Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum, Bang Amay,
Aku tak tahu bagaimana akan menenangkan hatimu yang ditimpa banyak kemalangan, selain hanya berdoa agar Allah senantiasa menguatkanmu. Kehilangan orang yang paling dicintai tentu bukan hal ringan, namun yakinlah, Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang sabar.
Aku pun masih mengingat nasihat abang di taman kota dulu tentang sabar dan ikhlas. Kini kata-kata itu senantiasa menjadi penopang hatiku disaat hidup terasa pilu.
Maaf jika surat ini tampak sederhana, tapi percayalah, engkau tidak pernah benar-benar sendiri. Sebab Allah bersamamu, dan dalam tiap sujudku, ada doa yang kupanjatkan untukmu.
Semoga kelak Allah memudahkan engkau menziarahi pusara ibunda dengan hati yang lebih lapang.
Wassalamu’alaikum,
Metro, 18 November 1996.
---
Langit Metro pagi itu masih menyisakan dingin hujan semalam. Daun mangga di pelataran madrasah berkilau basah, dan burung pipit saling bersahutan di antara cabang-cabang tinggi. Di halaman becek itu, Amay berdiri menatap musala tua, tempat tinggal sekaligus ladang baktinya, satu-satunya rumah semenjak orang tuanya berpulang.
Selepas kepergian itu, langkahnya kerap goyah. Namun amanah kepala madrasah untuk menjaga musala membuatnya bertahan, menjadi imam salat anak-anak, membetulkan bacaan Al-Qur’an, serta menyapu halaman disetiap paginya.
Semua terasa sebagai penawar rindu, seolah ia masih merawat pesan orang tuanya, “Jangan lelah berbuat baik, Nak. Sebab kebaikan akan menjadi bekalmu kelak.”
Di keheningan malam, terkadang rindunya ia tuangkan dalam secarik surat sederhana untuk Habsyah, gadis yang semasa dulu biasa duduk bersamanya di taman kota.
“Assalamu’alaikum, Dik. Aku baik-baik saja, meski terkadang hati terasa amat sepi, sebab tiada insan lagi untukku mecurahkan segala lara kecuali hanya dengan engkau. Doakan aku tetap tabah, kehilangan satu-satunya orang tua membuat jiwa ini seperti hilang separuhnya.”
Tak lama setelah Amay mengirimkan suratnya yang ia titipkan ke salah satu santri madrasah, tibalah jawaban dari Habsyah dengan tulisan lembut.
“Wa’alaikumussalam, Bang. Alhamdulillah, akupun juga baik-baik saja, dan tetap semangat merajut ilmu meski kita sudah tak pernah berpapasan seperti sedia kala.
Aku selalu percaya bahwa engkau selalu kuat dan bisa memegang amanah yang telah diberikan. Mudah-mudahan keberkahan senantiasa mengiringi disetiap langkah.”
Kata-kata itu membuat dada Amay hangat meski perih. Ia sadar, dirinya hanya anak kampung sederhana, sementara Habsyah putri seorang saudagar terpandang. Namun sekadar tahu ada yang mendoakannya, sudah cukup membuatnya merasa tidak benar-benar sendiri dalam berjuang.
Suatu sore, seorang lelaki paruh baya berwajah teduh menghampirinya.
“Assalamu’alaikum, Nak Amay,” sapa Haji Malik, orang yang dulu menuntunnya ke madrasah ini.
“Wa’alaikumussalam, Pak,” Amay menunduk hormat.
“Engkau sendirian di sini? Jika berkenan, selain di musala, bantulah saya di toko kain. Sekalian belajar berdagang.”
Air mata Amay hampir luruh. “Alhamdulillah… terima kasih banyak, Pak. Saya akan bersungguh-sungguh.”
Sesampainya di rumah, Haji Malik menyampaikan berita itu kepada istrinya,
“Adinda, aku telah mengajak seorang pemuda masjid yang tiada berpunya, untuk membantu di toko kain milik kita. Akhir-akhir ini, abang sering keluar kota, sehingga hanya adindalah yang kerepotan menjagai para pelanggan.
Anak itu adalah Amay. Ia tinggal sebatang kara di tengah kota yang megah ini, karena ayah bundanya telah mangkat beberapa waktu lalu.
Adinda tak usah risau, insyaallah dia anak yang baik budi pekertinya.”
“Baiklah, Bang, jika itu sudah diputuskan, adinda percaya. Mudah-mudahan kita bisa membantu sebisanya,” sahut sang istri dengan santun.
Hari-hari berikutnya membawa kejutan. Suatu siang, langkah Habsyah terhenti di depan toko, seorang pemuda sedang menata gulungan kain.
“Abang Amay?” suaranya bergetar.
Amay tersentak. “Adik Habsyah?”
Waktu seakan berhenti. Haji Malik yang menyaksikan hanya tersenyum tipis, dan sedikit terkejut,
”Ah, rupanya kalian sudah saling kenal?”
Keduanya hanya saling terdiam dan tampak wajah Habsyah merah merona, yang seketika langsung menundukkan pandangannya.
Semenjak itu, pertemuan mereka menjadi lebih sering. harapan yang semula rapuh akhirnya kembali utuh. Percakapan singkat dan kabar seadanya mengalir di antara mereka, namun pada akhirnya, hanya doa dalam heninglah yang berbicara paling lantang.
Suatu kali, Habsyah menghampiri Amay yang sedang duduk-duduk di bawah pohon mangga, kemudian ia menyodorkan sebungkus pempek hangat.
“Ini buatan adik bersama bunda, semoga abang suka.”
Amay hanya menunduk. Seketika Habsyah beranjak pergi, hingga ia tak sempat menjawab. Hanya salam terakhirnya yang terdengar lembut dan membekas.
“Wa’alaikumussalam, Dik. Terima kasih banyak. Mungkin engkaulah salah satu alasan perjuangan ini, meski engkau tak pernah mengetahuinya.”
---
Hari-hari baru pun berjalan. Sejak Amay membantu di toko Haji Malik, hidupnya tidak lagi sesepi dahulu. Pagi ia tetap mengurus musala dan membimbing anak-anak mengaji, siang hingga sore ia belajar menata gulungan kain, melayani pembeli, dan menyimak cara Haji Malik berdagang dengan sabar. Malamnya, barulah ia kembali ke musala yang sederhana, menyalakan lampu minyak, lalu melantunkan doa untuk orang tuanya.
Waktu seolah melangkah cepat. Dua tahun berlalu dalam kesibukan itu. Kini musala kecil yang pernah menjadi rumah Amay telah berubah megah, berdiri sebagai Masjid Al-Mujahidin. Jemaah kian ramai, madrasah makin hidup, dan Kota Metro perlahan menjelma menjadi kota percontohan.
Kehidupan terus bergerak. Di sela-sela kesibukan Amay membantu Haji Malik, kabar tentang Habsyah selalu datang lewat surat-suratnya yang halus. Dari huruf demi huruf yang ia baca, Amay tahu bahwa sang gadis adalah sosok yang tekun menuntut ilmu di Madrasah Al-Qalam. Surat-surat itu bagai pelita kecil yang menjaga semangatnya tetap menyala.
Tahun-tahun berganti, hingga tak terasa dua musim Ramadan telah mereka lalui dengan doa yang saling bersahutan dari kejauhan. Kini tibalah hari yang ditunggu, Habsyah menyelesaikan pendidikannya. Madrasah Al-Qalam dipenuhi wajah-wajah bahagia, dan Amay berdiri di barisan tamu, menyaksikan Habsyah tampil anggun mengenakan kerudung putih dengan selempang bertuliskan hafidzah.
Seusai acara, dengan ragu ia menghulurkan setangkai mawar yang telah disiapkannya beberapa hari lalu.
“Selamat ya, Dik. Semoga semangatmu tak pernah luntur dan ilmu menjadi manfaat.”
Habsyah tersenyum, matanya basah. “Terima kasih, Bang. Tanpa abang, mungkin aku tak sekuat ini.”
“Ah, Jangan berlebihan memuji abang, Dik, itu semua berkat kesungguhan dan ridha kedua orang tua.”
“Bukan pujian, Bang, sungguh. Itu rasa terima kasih.”
Amay tersenyum kecil, lalu menunduk sebentar. “Jika begitu, aku juga berterima kasih, karena engkau senantiasa menjaga nasihat-nasihat baik itu.”
Habsyah hanya mengangguk, tapi matanya berbicara lebih banyak dari kata-katanya.
Sejenak mereka bersama, memandangi suasana syahdu kelulusan serta mensyukuri atas semua nikmat yang telah di anugerahkan.
Sembari menyaksikan jalannya acara, Habsyah menyampaikan perkataannya dengan sedikit tertahan “Bang Amay, setelah kelulusan ini, mungkin aku akan melanjutkan pendidikan ke luar kota seperti apa yang di citakan oleh ayah dan bunda,” ucapnya lirih.
Amay terdiam, dadanya sesak. Tapi ia tersenyum. “Alhamdulillah… Ilmu itu cahaya. Aku pun ada niatan untuk menyiapkan diri menuju tanah haram, jika Allah mengizinkan. Mudah-mudahan itu jalan yang terbaik, Dik.”
Sejak hari wisuda itu, senja-senja Amay terasa sedikit berbeda. Ada bahagia yang terbit, sekaligus cemas yang diam-diam menyelusup. Kabar bahwa Habsyah akan kembali ke kampung halaman membuat hatinya bergetar, antara ridha melepas dan berat untuk berpisah.
Malam-malamnya kerap ia isi dengan doa panjang. Dalam sujudnya ia memohon, “Ya Allah, lapangkanlah jalan bagi dia yang kusebut dalam diam, meski jarak kelak memisahkan, jadikan doa sebagai pengikat yang tiada putusnya.”
---
Hingga tibalah hari itu. Namun sebelum keberangkatan keluarga Habsyah, Amay memberanikan diri mengajaknya berjumpa di taman dekat masjid. Senja menyambut mereka dengan cahaya lembut, seolah tahu ada hati yang sedang diuji untuk belajar merelakan.
Amay: “Adik, setelah ini pulang kampung ya?”
Habsyah tersenyum tipis: “Iya, Bang. InsyaAllah beberapa hari lagi.”
Amay: “Mudah-mudahan selamatlah engkau di perjalanan. Jaga diri baik-baik di sana.”
Habsyah: “Insyaallah, Bang. Kalau boleh, doakan aku selalu. Aku pun tak akan lupa mendoakan abang.”
Amay: “Aku akan mendoakan yang terbaik. Tiada pernah putus, meski jarak menceraikan kita.”
Habsyah sambil menahan air mata: “Terima kasih, Bang, kalau suatu saat engkau ke kampungku, sempatkanlah ke rumah.”
Amay: “Insyaallah…”
Mereka terdiam. Hanya suara burung di ranting dan langkah anak-anak kecil bermain di taman yang terdengar.
Semilir angin membawa aroma gula kapas. Dari arah selatan taman, lampu-lampu mulai menyala satu per satu. Rupanya pasar malam akan kembali hadir.
Tenda-tenda kecil mulai berdiri, denting permainan lempar gelang dan suara riuh anak-anak semakin terdengar.
Amay melihat ke arah itu, lalu menoleh pelan ke arah Habsyah.
Ia sempat ragu, tapi keberanian kecil dalam hatinya mendorongnya untuk bicara.
Amay: “Malam ini tampaknya ada pasar malam lagi. Aku pernah berjanji mengajakmu, bukan? Mungkin inilah kesempatan terakhir sebelum engkau pulang.”
Habsyah tersenyum malu sambil mengangguk: “Ai, rupanya abang masih ingat akan hal itu. Baiklah, nanti kita ke sana.”
Lepas salat Maghrib berjemaah, mereka mulai berjalan beriringan menuju keramaian. Tidak terlalu dekat, namun terasa nyaman.
Di sana mereka berkeliling melihat berbagai penampilan dan wahana bermain, serta barang-barang unik yang dibawa oleh para pedagang dari luar daerah.
Mereka sempat mencoba beberapa permainan seperti lempar bola, pancing botol, balon dart, dan Amay menang satu boneka kecil.
Habsyah: “Bang Amay masih seperti dulu ya… tenang, tapi selalu tepat sasaran.”
Amay tersenyum, meski hatinya bergetar: “Tidak juga, Dik. Mungkin itu sebuah keberuntungan.”
Di akhir persimpangan jalan, mereka pun ikut melukis bersama anak-anak kecil di salah satu tenda.
Habsyah melukis langit senja yang begitu indah, sementara Amay melukis dua sosok duduk bersebelahan di bawah pohon tengah taman.
Habsyah: “Seperti kita di taman tadi?”
Amay: “Mungkin… Tapi agaknya lebih dari sekadar itu,” jawab Amay sambil terus mewarnai suasana syahdu dalam lukisannya.
Malam kian meriah, taman kota bercahaya oleh lampu dan tenda pasar malam. Anak-anak berlarian, suara tertawa dan alunan musik organ tunggal berpadu dalam semarak.
Amay dan Habsyah duduk di salah satu bangku kayu di tengah keramaian itu. Di sekeliling mereka, dunia seperti bergerak cepat, tapi di antara keduanya, waktu justru berjalan perlahan.
Amay menggenggam lututnya sendiri, matanya mengamati lentera-lentera gantung yang berayun pelan tertiup angin malam.
“Abang, doakan aku kuat di tempat baru,” pinta Habsyah.
“Aku akan selalu ingat, Dik,” ujar Amay lirih. “Semoga kelak Allah mempertemukan kita kembali dalam keadaan yang lebih baik.”
Air mata Habsyah jatuh, namun ia berusaha tersenyum. “Insyaallah… Kalau pun jauh, doa akan jadi jembatan kita.”
Mereka berpamitan tanpa genggaman, hanya saling tatap yang menyimpan janji dalam diam. Cinta tak pernah terucap, namun senantiasa dititipkan pada doa yang tiada hentinya. Sebab cinta yang lahir dari kesabaran dan ilmu, takkan pernah sia-sia di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Angin malam menyapu wajahnya, seakan menitipkan pesan, segala sesuatu yang terpisah di bumi, akan disatukan kembali bila Allah berkehendak. Amay pun menunduk, merasakan damai, sebab ia tahu dua hati ini senantiasa di bawah lindungan doa yang sama.
Mangkat (Orang Meninggal)
Pempek (Makanan khas Palembang)
Hafidzah (Orang yang sudah menghafalkan 30 juz Al-Qur'an (perempuan))
Organ tunggal (Hiburan pemain tunggal dan penyanyi)