Indonesia memiliki tantangan yang cukup besar dalam mewujudkan pemerataan Pendidikan, terutama di daerah 3T, terpencil, terluar, dan tertinggal. Meskipun berbagai kebijakan dalam Upaya pengembangan dan pemerataan infrastruktur Pendidikan telah diluncurkan, realitas di lapangan nyatanya berbanding terbalik dengan ekspektasi yang ditaruh. Akses pendidikan di daerah-daerah terpencil sering kali menimbulkan keprihatinan bagi para pelajar Indonesia.
Dalam situasi seperti ini, muncul gerakan-gerakan dari para pelajar dan relawan yang tidak hanya belajar untuk dirinya sendiri tetapi juga berperan aktif mengatasi krisis pendidikan di Indonesia. Gerakan-gerakan seperti UNICEF, Peduli Anak, Sayangi tunas cilik, ChildFund Indonesia, Gerakan Indonesia Mengajar, Yayasan Kakak dan lainnya banyak menjadi wadah bagi para pelajar yang tidak hanya peduli terhadap nilai tapi juga peduli terhadap keberlangsungan hidup anak-anak Indonesia, khususnya di daerah 3T.
Kasus seperti ini ditemukan dalam studi oleh Sari dan Nugroho (2020) dalam Jurnal Pendidikan dan Pembangunan, yang menyoroti pelajar di Nusa tenggara Timur yang secara sukarela membuka kelas belajar sore bagi anak-anak di desanya. Mereka menyadari bahwa pendidikan bukan hanya soal mendapatkan nilai, tapi juga tentang tanggung jawab sosial. Aksi seperti ini merupakan bentuk kritik langsung terhadap lemahnya perhatian negara terhadap wilayah terpinggirkan.
Kisah menarik lainnya datang dari sekelompok pelajar dari SMAN 1 Manokwari, Papua Barat yang menjadi contoh nyata pelajar peduli di era digital. Saat pandemi memutus akses belajar tatap muka dan banyak siswa kesulitan belajar daring karena keterbatasan perangkat dan jaringan internet, mereka berinisiatif membuat video pembelajaran sederhana dan mengunggahnya ke Youtube dan TikTok.
Tidak hanya itu, mereka juga membuat titik-titik belajar bersama di rumah salah satu teman secara bergiliran, dan mengajak guru-guru untuk memberikan sesi tanya jawab secara offline di luar jam sekolah. Aksi ini tidak hanya membantu teman-teman mereka yang kesulitan, tetapi juga menarik perhatian komunitas lokal, hingga akhirnya mendapatkan bantuan paket data dan peralatan belajar dari donatur. Langkah kecil ini menjadi contoh konkret bagaimana pelajar bisa menjadi penggerak solusi atas ketimpangan akses belajar.
Peran pelajar sebagai agen perubahan juga dibahas oleh Prasetyo (2019) dalam Jurnal Sosial Humaniora, yang menjelaskan bahwa pelajar dari komunitas terpinggir sering kali memiliki kesadaran sosial yang tinggi akibat pengalaman langsung terhadap ketimpangan. Mereka tidak hanya menjadi korban, tetapi juga menjadi pelaku untuk menyuarakan kebutuhan, merancang solusi, dan menggerakkan masyarakat.
Di era digital seperti saat ini, peran besar pelajar yang juga kebanyakan merupakan generasi Z dalam menyuarakan ketimpangan pendidikan juga tidak bisa diabaikan. Media sosial telah menjadi alat penting bagi pelajar untuk menyebarkan informasi, menggalang dukungan serta menginisiasi gerakan akar rumput.
Dengan mengandalkan kreativitas dan keberanian khas anak muda, banyak dari para pelajar Indonesia mengambil langkah. Seperti konten edukatif, kampanye literasi hingga ajakan donasi untuk anak-anak di daerah tertinggal. Aktivisme digital ini dapat memperluas jangkauan serta memberi tekanan moral bagi pengambil kebijakan untuk lebih responsif terhadap isu pendidikan pinggiran.
Namun, tantangan tetap besar. Banyak pelajar yang menjalankan inisiatif pendidikan secara mandiri tanpa dukungan serta bantuan dari institusi formal. Sering kali, aksi mereka dipandang sebelah mata karna status mereka yang dianggap masih “anak-anak”. Hal tersebut menunjukkan perlunya perubahan cara pandang terhadap pelajar; bukan lagi objek percobaan kurikulum, tetapi subjek kritis yang perlu ruang dan dukungan.
Oleh karna hal itu, penting bagi pemerintah, sekolah, institusi formal ataupun non formal serta masyarakat luas untuk dapat membuka ruang kolaboratif yang memungkinkan para pelajar dapat turut serta menyampaikan aspirasi serta dukungan mereka terhadap sistem pendidikan Indonesia. Dukungan terhadap inisiatif lokal yang digagas dan dikembangkan oleh para pelajar harus mendapat perhatian lebih agar semangat kritis ini tidak padam oleh birokrasi yang kaku.
Kesimpulan
Pelajar didaerah 3T telah menunjukkan bahwa mereka mampu menjadi aktor kritis dalam krisis pendidikan Indonesia. Di tengah keterbatasan mereka dalam akses dan minimnya perhatian pemerintah, mereka membuktikan bahwa semangat belajar dan mengabdi dapat berjalan beriringan. Dari desa, mereka bergerak untuk republik, memulai perubahan dari hal-hal kecil yang sering luput dari sorptan media. Mereka tidak hanya menuntut keadilan pendidikan, tetapi turut menjadi solusi serta turut menghasilkan hasil nyata.
Melalui inisiatif lokal, kelas mandiri, konten belajar edukatif serta upaya lainnya, mereka membuktikan bahwa usia muda bukanlah suatu halangan untuk memberikan dampak yang besar dan nyata. Dengan semangat gotong royong serta keberanian untuk bersuara, mereka menjadi agen perubahan yang tumbuh dari bawah—membentuk gerakan akar rumput yang autentik dan konstektual. Sudah saatnya kita tidak hanya mendengar dan mendukung, tetapi juga turut andil dalam aksi nyata serta membuka ruang partisipatif yang lebih luas agar mereka dapat berkembang dan memperluas pengaruh positifnya.
Referensi:
Sari, L., & Nugroho, A. (2020). Peran Pelajar dalam Penguatan Pendidikan di Daerah Terpencil. Jurnal Pendidikan dan Pembangunan, 8(1), 45–56.
Prasetyo, E. (2019). Kesadaran Sosial Pelajar Marginal dan Peranannya dalam Pendidikan. Jurnal Sosial Humaniora, 7(2), 122–134.